Menghidupkan Kembali Nilai Perjuangan Agustinus Adisucipto di Era Modern

Nilai-nilai perjuangan Agustinus Adisucipto jelas masih relevan dengan kehidupan masyarakat saat ini. Keberanian yang ia tunjukkan, misalnya, penting untuk menghadapi tantangan zaman modern, termasuk disinformasi, intoleransi, dan krisis sosial. Hal ini sejalan dengan firman Tuhan dalam Yosua 1:9: “Bukankah telah Kuperintahkan kepadamu: kuatkan dan teguhkanlah hatimu? Janganlah kecut dan tawar hati, sebab TUHAN, Allahmu, menyertai engkau, kemanapun engkau pergi.” Keberanian moral inilah yang harus hadir dalam kehidupan berbangsa, bukan hanya di medan perang tetapi juga dalam kehidupan sosial, pendidikan, dan politik. Relevansinya ditegaskan pula dalam UUD 1945 Pasal 27 ayat (3): “Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara,” serta Pasal 30 ayat (1): “Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.” Artinya, semangat keberanian Adisucipto bukan sekadar sejarah militer, tetapi mandat konstitusional bagi setiap warga negara untuk berani menjaga bangsa dari segala ancaman.
Pengorbanan Adisucipto, yang rela menyerahkan hidupnya untuk bangsa, juga masih sangat relevan. Firman Tuhan dalam Yohanes 15:13 menegaskan: “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.” Dalam konteks masa kini, pengorbanan bukan selalu soal nyawa, tetapi soal kesediaan untuk mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi. Inilah yang juga ditegaskan negara dalam UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, yang menuntut agar setiap pejabat publik bekerja berdasarkan asas kepastian hukum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, dan akuntabilitas. Dengan kata lain, nilai pengorbanan dapat diwujudkan melalui integritas dan kejujuran dalam kehidupan publik, serta pengabdian tulus dalam profesi sehari-hari.
Disiplin dan tanggung jawab yang dicontohkan Adisucipto sebagai instruktur penerbang juga sangat kontekstual. Firman Tuhan dalam Kolose 3:23 menegaskan: “Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.” Disiplin semacam ini dibutuhkan di dunia pendidikan maupun dunia kerja. Hal ini sejalan dengan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3 yang menyatakan: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” Jadi, disiplin bukan sekadar aturan militer, melainkan nilai universal yang membentuk karakter unggul bangsa.
Kepemimpinan Adisucipto yang melayani juga sangat relevan dengan tantangan kepemimpinan masa kini. Ia dihormati bukan karena jabatannya, tetapi karena teladan hidupnya. Hal ini selaras dengan ajaran Kristus dalam Matius 20:26: “Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu.” Konsep kepemimpinan yang melayani juga diperkuat teori modern, salah satunya servant leadership oleh Robert K. Greenleaf, yang menegaskan bahwa pemimpin sejati adalah “pelayan terlebih dahulu” (servant first). Dalam konteks demokrasi Indonesia, paradigma ini sejalan dengan cita-cita reformasi: pemimpin tidak lagi memusatkan kekuasaan, tetapi memberdayakan rakyat. Kepemimpinan melayani inilah yang dapat mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan menghadirkan keadilan sosial yang nyata.
Selain itu, jiwa pelopor Adisucipto ketika mendirikan Sekolah Penerbang Maguwo tetap relevan hingga sekarang, ketika Indonesia menyiapkan generasi emas untuk menghadapi era teknologi tinggi. Nilai inovasi ini sejalan dengan misi pendidikan nasional yang menuntut manusia “cakap, kreatif, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab” (Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 3). Artinya, semangat pionir bukan hanya milik tokoh militer, tetapi bisa diimplementasikan oleh generasi muda dalam bidang sains, teknologi, ekonomi, hingga seni. Dengan semangat “membangun sesuatu dari nol” sebagaimana dilakukan Adisucipto, generasi muda bisa menyiapkan bangsa menuju Indonesia Emas 2045.
Mengimplementasikan nilai-nilai perjuangan Adisucipto dapat dimulai dengan menanamkan keberanian dalam menghadapi tantangan hidup. Di tengah derasnya arus globalisasi dan derasnya penyebaran informasi digital, keberanian diperlukan untuk melawan hoaks, intoleransi, dan praktik-praktik ketidakadilan sosial. Semangat ini selaras dengan Yosua 1:9 yang menegaskan agar kita tetap “kuat dan teguh hati, jangan kecut dan tawar hati, sebab Tuhan, Allahmu, menyertai engkau.” Dalam konteks berbangsa, implementasi nilai ini tercermin dalam partisipasi aktif masyarakat menjaga persatuan, sebagaimana amanat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 30 ayat (1): “Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.” Artinya, keberanian tidak selalu identik dengan medan perang, tetapi juga keberanian moral untuk menjaga keutuhan bangsa dari ancaman disintegrasi dan perpecahan.
Akhirnya, bukti empirik menunjukkan etos perjuangan Adisucipto tetap hidup. Misalnya, peran TNI AU dalam jembatan udara Palu 2018 yang mengevakuasi warga dan mengangkut bantuan kemanusiaan menggunakan C-130. Praktik ini memadukan keberanian, profesionalisme, pengorbanan, dan kepemimpinan yang melayani, relevan dengan nilai-nilai Adisucipto. Dengan demikian, jelas bahwa nilai-nilai perjuangan tersebut bukan sekadar romantika sejarah, melainkan pedoman hidup yang selaras dengan Kitab Suci dan Undang-Undang, serta relevan untuk membangun bangsa Indonesia yang adil, bermartabat, dan berdaya saing di era modern.