


Anggota Kelompok 1 Kelas XII D2: Charlene Elisabeth Paramahita XII-D2/06, Charyn Mendrado XII-D2/07, Chelsea Agnes Santoso XII-D2/08, Jesica Frisian Lilihata XII-D2/17, Maria Elizabeth Patricia Rachelle Jevana XII-D2/21, Victoria Mandy Koban XII-D2/33
Widji Thukul bukan hanya seorang penyair, ia adalah suara rakyat yang menggema dari lorong-lorong sempit kota, dari ruang buruh, petani, dan kaum kecil yang terpinggirkan. Hilangnya Thukul pada tahun 1998 bukan berarti hilangnya nilai-nilai perjuangan yang ia tinggalkan. Justru, nilai-nilai itu terasa semakin hidup ketika rakyat kembali turun ke jalan, seperti dalam aksi 17+8 Tuntutan Rakyat belakangan ini, menuntut keadilan sosial dan menolak berbagai kebijakan yang dianggap menindas. Pertanyaannya, masihkah nilai-nilai perjuangan Widji Thukul hidup di tengah kita? Jawabannya: justru semakin menyala, sebab bayang-bayang ketidakadilan tak pernah benar-benar pergi dari bumi pertiwi ini; ia hanya berganti wajah, sementara suara perlawanan tetap kita butuhkan.
Keberanian Melawan Ketidakadilan
Keberanian adalah nafas dari setiap kata yang lahir dari Widji Thukul. Puisinya tidak berdiri di ruang estetika semata, tetapi menjadi senjata melawan represi. Dalam puisinya yang terkenal, ia menulis:
“Hanya ada satu kata: Lawan!”.
Kata-kata itu tidak sekadar retorika, melainkan sikap eksistensial melawan kebungkaman yang dipaksakan rezim. Keberanian Thukul mencerminkan keyakinan bahwa keadilan tidak akan datang jika rakyat memilih diam.
Hari ini, keberanian semacam itu kembali diuji. Aksi demonstrasi 17+8 memperlihatkan generasi muda, mahasiswa, buruh, dan masyarakat sipil yang menolak dilenyapkan suaranya. Semangat itu sejatinya adalah warisan Widji Thukul yang dahulu ia sampaikan dengan cara turun langsung ke jalan untuk menyuarakan kebenaran melalui puisi-puisi yang vokal dan lantang. Kini, kertas puisinya berubah menjadi layar internet; slogannya berganti menjadi tagar; teriakannya menjelma dalam sebaran pesan, templat, dan cerita di media sosial. Namun, esensinya tak pernah berubah. Semua berawal dan berlanjut dari sem angat yang sama, semangat menuntut keadilan. Inilah bukti bahwa perjuangan Thukul masih relevan dengan situasi masyarakat saat ini. Bentuk ketidakadilan boleh berubah, tetapi substansi perlawanan terhadapnya tetap dilakukan.
Bagi siswa, keberanian itu dapat diwujudkan lewat kejujuran belajar berani menyampaikan pendapat di kelas; dan berani menolak segala bentuk perundungan. Bagi rakyat Indonesia, keberanian hadir dalam sikap kritis terhadap kebijakan publik, berani bersuara di ruang demokrasi, serta menolak sikap apatis terhadap ketidakadilan di sekitar kita. Sedangkan bagi pemerintah, nilai keberanian ini berarti kesediaan untuk membuka diri terhadap kritik, transparan dalam pengambilan keputusan, dan setia pada amanah konstitusi.
Kepedulian terhadap Rakyat Kecil
Thukul lahir dari rakyat kecil, menulis untuk mereka dengan bahasa sederhana yang membumi. Dalam kerangka berpikir filsuf Italia Antonio Gramsci (https://plato.stanford.edu/entries/gramsci/), ia menegaskan bahwa hegemoni melahirkan dua tipe intelektual yaitu intelektual tradisional dan intelektual organik. Intelektual tradisional berbicara dari menara gading dan jauh dari persoalan rakyat. Intelektual organik lahir dari rahim rakyat, hidup bersama mereka, dan menggunakan karyanya untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. Thukul adalah contoh nyata intelektual organik. Ia menjadikan seni sebagai alat perlawanan, misalnya puisi yang bukan hanya sekadar karya, melainkan suara bagi rakyat yang tidak bisa dibungkam.
Kepedulian Thukul tampak dalam puisinya:
‘Kita adalah manusia beribu wajah, buruh, tani, miskin kota, mahasiswa, semuanya bersatu: hanya ada satu kata—lawan!
Ia tidak hanya menulis, tetapi juga turun ke jalan merasakan derita rakyat kecil.
Kondisi hari ini tidak banyak berbeda, kesenjangan ekonomi masih lebar dan rakyat kecil kerap menjadi korban kebijakan yang berpihak pada modal. Kepedulian Thukul menjadi cermin bagi kita bahwa keberpihakan pada rakyat kecil adalah kewajiban moral. Nilai ini dapat diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, bagi siswa dengan menghargai teman, menolak perundungan, dan mau berbagi. Sedangkan bagi rakyat, dapat dilakukan pada momentum demonstrasi yang berlangsung belakangan ini.
Kesederhanaan Hidup
Widji Thukul tetap bekerja sebagai tukang sablon meski dikenal sebagai penyair dan aktivis. Kesederhanaannya bukan sekadar pilihan gaya hidup, tetapi sikap politik. Ia menolak jarak yang kerap dipakai elit untuk menunjukkan kelas. Sesuai dengan perspektif Pierre Bourdieu, Thukulpun melawan ‘distinction’ sosial yang memisahkan si kaya dari si miskin. Di tengah budaya pamer hari ini, pesannya jelas: martabat manusia ditentukan oleh keberanian dan kepedulian, bukan kemewahan materi.
Kesederhanaan ini menjadi kritik moral yang tajam. Ketika pejabat dan elit politik sibuk memperlihatkan kemewahan, rakyat justru terjebak dalam kesulitan ekonomi. Budaya pamer di media sosial hari ini semakin menegaskan jurang sosial tersebut.
Gaya hidup sederhana adalah wujud solidaritas. Thukul menolak terjebak dalam elitisme. Prinsip Thukul, pemimpin sejati bukanlah yang berlimpah fasilitas, melainkan yang rendah hati, jujur, dan hadir di tengah rakyatnya.
Pengorbanan demi Kebenaran
Nilai paling menyentuh dari Widji Thukul adalah kerelaannya berkorban demi kebenaran. Ia rela meninggalkan keluarga dan hidup dalam pelarian karena dikejar rezim yang menganggapnya ancaman, berpindah dari rumah ke rumah dengan nama samaran hingga akhirnya hilang dan tak pernah ditemukan. Ia mempertaruhkan hal yang paling berharga dalam hidupnya demi sesuatu yang lebih besar: keadilan sosial.
Secara etis, pengorbanan Thukul mencerminkan virtue ethics Aristoteles (https://plato.stanford.edu/entries/aristotle-ethics/): bahwa keberanian, kejujuran, dan pengorbanan adalah inti kebajikan. Dari perspektif Alkitab, pengorbanan ini juga sejalan dengan ajaran Kitab Suci. Injil Yohanes 15:13 menulis: “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.” Thukul memberikan hidupnya demi rakyat kecil, sahabat-sahabat sejatinya.
Pada akhir bulan Agustus tahun 2025, luka itu kembali mengaga; rakyat harus kembali turun ke jalan untuk memperjuangkan haknya. Sejarah berulang dan pengorbanan rakyat kembali menegaskan betapa mahal harga sebuah kebenaran. Nilai ini dapat dimulai dari hal sederhana, seperti berani berkata jujur meski konsekuensinya tidak menyenangkan, mendahulukan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi, serta konsisten memegang prinsip. Kita belajar bahwa kebenaran memang mahal, tetapi tanpa keberanian untuk berkorban, keadilan tidak akan pernah terwujud.Nilai paling menyentuh dari Widji Thukul adalah kerelaannya berkorban demi kebenaran. Ia rela meninggalkan keluarga dan hidup dalam pelarian karena dikejar rezim yang menganggapnya ancaman, berpindah dari rumah ke rumah dengan nama samaran hingga akhirnya hilang dan tak pernah ditemukan. Ia mempertaruhkan hal yang paling berharga dalam hidupnya demi sesuatu yang lebih besar: keadilan sosial.
Secara etis, pengorbanan Thukul mencerminkan virtue ethics Aristoteles (https://plato.stanford.edu/entries/aristotle-ethics/): bahwa keberanian, kejujuran, dan pengorbanan adalah inti kebajikan. Dari perspektif Alkitab, pengorbanan ini juga sejalan dengan ajaran Kitab Suci. Injil Yohanes 15:13 menulis: “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.” Thukul memberikan hidupnya demi rakyat kecil, sahabat-sahabat sejatinya.
Pada akhir bulan Agustus tahun 2025, luka itu kembali mengaga; rakyat harus kembali turun ke jalan untuk memperjuangkan haknya. Sejarah berulang dan pengorbanan rakyat kembali menegaskan betapa mahal harga sebuah kebenaran. Nilai ini dapat dimulai dari hal sederhana, seperti berani berkata jujur meski konsekuensinya tidak menyenangkan, mendahulukan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi, serta konsisten memegang prinsip. Kita belajar bahwa kebenaran memang mahal, tetapi tanpa keberanian untuk berkorban, keadilan tidak akan pernah terwujud.
Widji Thukul memang telah lama hilang, tetapi nilai-nilainya tak pernah mati. Keberanian melawan ketidakadilan, kepedulian terhadap rakyat kecil, kesederhanaan hidup, dan pengorbanan demi kebenaran adalah warisan yang terus relevan.
UUD 1945 Pasal 27 ayat (1) menyatakan: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Ironisnya, pasal itu sering dilanggar oleh penguasa sendiri dan nilai-nilai yang diperjuangkan Thukul hadir sebagai pengingat bahwa rakyat berhak menuntut kesetaraan yang dijanjikan oleh konstitusi.
Hari ini, kita bisa meneruskan semangat itu dengan berani, jujur, peduli pada orang lain, dan menegakkan kebenaran. Hal itu tidak mudah, tetapi harus terus diperjuangkan. Selama masih ada ketidakadilan dan orang kecil yang terpinggirkan, suara Thukul akan tetap menggema, mengajak kita berkata satu kata yang sama, LAWAN!