
Kardinal Justinus Darmojuwono merupakan sosok pemimpin Gereja Katolik Indonesia yang tidak hanya berperan dalam urusan rohani, tetapi juga menjadi teladan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Keberanian dan ketegasannya paling tampak dalam masa kelam pasca peristiwa G30S/1965, ketika ia mengeluarkan surat gembala pada 5 Januari 1966 yang melarang umat Katolik terlibat dalam aksi kekerasan dan balas dendam terhadap mereka yang dituduh berafiliasi dengan PKI. Tindakan ini sangat berisiko secara politik, namun menunjukkan komitmen Darmojuwono terhadap nilai kemanusiaan yang luhur. Ia menjadi suara moral yang menentang gelombang kebencian, menegaskan bahwa perdamaian dan kasih harus diutamakan di atas dendam dan kekuasaan. Sikap ini sejalan dengan ajaran Kitab Suci dalam 1 Yohanes 4:7–8 yang menyatakan bahwa Allah adalah kasih, dan umat dipanggil untuk mengasihi sesama tanpa syarat.
Selain itu, Darmojuwono juga memainkan peran penting dalam diplomasi internasional. Sebagai pemimpin agama, ia membawa nama Indonesia ke panggung dunia, terutama setelah pengangkatannya sebagai kardinal oleh Paus Paulus VI pada 26 Juni 1967. Pengangkatan ini bukan hanya pengakuan terhadap dirinya secara pribadi, tetapi juga terhadap Gereja Katolik Indonesia sebagai bagian sah dari komunitas global. Posisi tersebut membuka jalan bagi hubungan diplomatik yang lebih erat antara Vatikan dan pemerintah Indonesia, sekaligus memperkuat citra bangsa di mata dunia. Dalam konteks ini, Darmojuwono menunjukkan bahwa pemimpin rohani juga dapat berperan sebagai duta perdamaian dan kebudayaan.
Nilai nasionalisme yang inklusif menjadi salah satu warisan penting Darmojuwono. Ia melanjutkan semangat “100% Katolik, 100% Indonesia” yang dipelopori oleh Mgr. Albertus Soegijapranata, dengan menegaskan bahwa iman dan nasionalisme bukanlah dua hal yang bertentangan, melainkan saling melengkapi. Dalam berbagai kesempatan, ia menekankan bahwa cinta tanah air harus diwujudkan dalam kesetiaan kepada Pancasila dan NKRI, serta partisipasi aktif dalam pembangunan bangsa. Ia percaya bahwa perbedaan agama, suku, dan budaya adalah kekayaan yang harus dirawat, bukan dijadikan alasan untuk perpecahan. Pandangan ini sejalan dengan Galatia 3:28 yang menyatakan bahwa semua orang sama di hadapan Allah, dan mendukung Pancasila sebagai dasar pemersatu bangsa yang majemuk.
Keteladanan Darmojuwono juga tercermin dalam nilai-nilai kristiani yang ia hidupi secara konsisten: kasih, keadilan, kebenaran, kerendahan hati, dan pelayanan. Ia membangun dialog lintas agama untuk menumbuhkan kerukunan dan rasa saling percaya, menunjukkan bahwa kasih bukan hanya kata, tetapi tindakan nyata. Ia menolak diskriminasi dan korupsi, serta menekankan pentingnya integritas dalam hidup berbangsa, sebagaimana diajarkan dalam Mikha 6:8 untuk berlaku adil dan dalam Yohanes 8:32 tentang kesetiaan pada kebenaran. Meski menjabat sebagai kardinal, ia tetap hidup sederhana dan rendah hati, sering mengunjungi paroki-paroki kecil untuk melayani umat secara langsung, mencerminkan semangat Markus 10:45 bahwa pemimpin sejati adalah pelayan. Seluruh hidupnya diarahkan untuk melayani mereka yang miskin dan tersisih, menjadikan iman Katolik sebagai kekuatan sosial yang membangun kehidupan bersama.
Dengan demikian, Kardinal Justinus Darmojuwono bukan hanya tokoh agama, tetapi juga tokoh bangsa yang menjadikan nilai-nilai Kristiani sebagai landasan dalam membangun masyarakat yang adil, damai, dan bersatu. Ia menunjukkan bahwa iman bukan hanya untuk doa, melainkan harus diwujudkan dalam tindakan nyata yang membawa harapan dan perubahan. Keteladanannya menjadi inspirasi bagi umat Katolik dan seluruh rakyat Indonesia untuk hidup dalam kasih, keadilan, dan persaudaraan demi masa depan bangsa yang lebih bermartabat.
3. Menulis opini dalam bentuk artikel dengan dipandu pertanyaan:
Di tengah masyarakat Indonesia yang semakin terpolarisasi, saya percaya bahwa kita membutuhkan lebih dari sekadar wacana toleransi. Kita membutuhkan teladan nyata. Dan dalam hal ini, Kardinal Justinus Darmojuwono bukan hanya relevan—ia mendesak untuk diingat kembali.
Nilai-nilai yang ia wariskan bukanlah dogma mati. Kasih, persaudaraan, nasionalisme yang berakar pada Pancasila, keadilan, dan pelayanan bukan sekadar jargon rohani, melainkan sikap hidup yang konkret. Ketika media sosial menjadi medan perang opini, ketika pemilu memecah keluarga dan pertemanan, saya melihat bahwa kasih bukan lagi sekadar ajaran gereja—ia adalah sikap politik yang paling radikal dan paling dibutuhkan.
Darmojuwono menunjukkan bahwa kasih bukanlah kelemahan. Setelah tragedi 1965, ketika dendam bisa saja menjadi pilihan yang sah, ia memilih melindungi, bukan membalas. Ia menyerukan perdamaian, bukan permusuhan. Di era ketika balas-membalas menjadi budaya digital, sikap ini adalah revolusioner. Kita bisa memilih untuk tidak membalas kebencian dengan kebencian. Kita bisa memilih untuk mengasihi, seperti yang ditulis dalam 1 Yohanes 4:7–8: “Marilah kita saling mengasihi, sebab kasih itu berasal dari Allah.” Dan saya yakin, kasih yang lahir dari iman adalah kekuatan yang mampu meretas sekat-sekat sosial yang kian menebal.
Lebih dari itu, Darmojuwono mengajarkan bahwa kepemimpinan bukan soal jabatan, melainkan soal pelayanan. Ia adalah kardinal pertama Indonesia, tetapi memilih pensiun dan tinggal di paroki sederhana. Di tengah masyarakat yang muak dengan elit yang korup dan jauh dari rakyat, sikap ini bukan hanya menyentuh—ia menggugah. Saya percaya bahwa pemimpin sejati adalah mereka yang hadir untuk rakyat, bukan yang menuntut penghormatan dari rakyat. Dan Darmojuwono telah membuktikannya.
Dalam kebangsaannya, ia juga menjadi penanda penting bahwa iman dan nasionalisme bukan dua kutub yang saling meniadakan. Bersama Uskup Soegijapranata, ia memperjuangkan Gereja yang 100% Katolik dan 100% Indonesia. Ia menjunjung tinggi Pancasila, berdialog dengan agama lain, dan menghormati budaya lokal. Di era globalisasi, ketika identitas bangsa mudah larut dalam arus nilai asing, saya melihat bahwa teladan Darmojuwono adalah jangkar moral yang meneguhkan. Ia menunjukkan bahwa mencintai bangsa berarti menghormati keragaman, bukan menaklukkannya.
Lalu, bagaimana kita menghidupi nilai-nilai ini hari ini? Saya percaya bahwa nasionalisme harus menjadi bagian dari iman. Umat Katolik, dan semua warga negara, perlu menunjukkan kesetiaan kepada Pancasila dan NKRI melalui partisipasi aktif dalam kehidupan sosial, sebagaimana ditegaskan dalam UUD 1945 Pasal 27 ayat 1. Kasih dan persaudaraan harus diwujudkan dalam dialog lintas agama, dalam sikap saling percaya, bukan saling curiga. Dalam hal keadilan, kita harus berani menolak korupsi dan diskriminasi, karena seperti tertulis dalam Amsal 21:3, “Melakukan keadilan dan hukum adalah lebih berkenan kepada TUHAN daripada korban.”
Kesederhanaan dan kerendahan hati merupakan hal yang membawa kebebasan rohani. Menjauhi gaya hidup mewah dan mendekatkan diri kepada masyarakat kecil adalah bentuk nyata dari spiritualitasnya. Dan pelayanan kepada mereka yang miskin dan tersisih bukanlah tugas tambahan, melainkan inti dari iman itu sendiri. Teologi Pembebasan mengingatkan kita bahwa iman harus berpihak kepada yang tertindas. Jika tidak, ia hanya menjadi ritual kosong.
Saya percaya bahwa nilai-nilai Darmojuwono bukan hanya untuk umat Katolik. Ia adalah warisan kemanusiaan yang melampaui sekat agama. Di tengah bangsa yang terbelah, ia mengajarkan bahwa kasih adalah jalan pulang. Bahwa menjadi pemimpin berarti melayani. Bahwa mencintai bangsa berarti merawat keragaman. Dan bahwa iman sejati selalu berpihak kepada keadilan.
