
Raden Ayu Maria Soelastri Soejadi Sasraningrat Darmaseputra lahir pada tanggal 22 April 1898 di Yogyakarta. Beliau merupakan putri ketiga dari lima bersaudara dalam keluarga bangsawan Keraton Yogyakarta. Ayahnya adalah Pangeran Sasraningrat, putra mahkota Sri Paku Alam III, sementara ibunya adalah Bendara Raden Ayu Sasraningrat. Dari garis ayah, Maria Soelastri adalah cicit dari Sri Paku Alam III yang dikenal sebagai tokoh nasionalis dan disegani oleh penjajah Belanda. Dari garis ibu, beliau merupakan cicit Pangeran Diponegoro, pahlawan besar yang memimpin perlawanan rakyat Jawa terhadap kolonial Belanda. Maria Soelastri tumbuh dalam lingkungan keluarga yang tidak hanya dihormati secara sosial, tetapi juga sarat dengan nilai perjuangan dan pemikiran kritis terhadap kondisi bangsa. Kakaknya, Raden Ayu Sutartinah Sasraningrat, kemudian dikenal sebagai Nyi Hajar Dewantara, istri dari Ki Hajar Dewantara yang mendirikan Taman Siswa. Dengan demikian, Maria Soelastri hidup dalam lingkaran keluarga yang memiliki tradisi intelektual, nasionalisme, dan kepedulian sosial yang kuat.
Masa kecil Maria Soelastri sangat dipengaruhi oleh suasana rumah tangga yang penuh dengan diskusi intelektual dan perjumpaan dengan tokoh-tokoh dari dalam maupun luar negeri. Ayahnya, Pangeran Sasraningrat, adalah seorang pecinta sastra Jawa kuno sekaligus tokoh yang aktif dalam dunia jurnalistik. Hal ini menjadikan rumah mereka sebagai tempat berkumpulnya banyak tamu penting, baik dari kalangan bangsawan, pejabat, maupun intelektual Eropa. Di antara tamu tersebut terdapat Dr. Hazeu, penasihat urusan pemerintahan jajahan, serta Pastor van Lith SJ, seorang imam Katolik yang mempelajari budaya dan sastra Jawa agar dapat memahami masyarakat Jawa secara lebih mendalam. Dari perjumpaan ini, Maria Soelastri kecil menyerap wawasan yang luas, baik mengenai budaya bangsanya sendiri maupun mengenai budaya Barat. Rasa ingin tahu yang besar membuatnya sering bertanya mengapa bangsa sebesar Indonesia bisa berada di bawah kekuasaan bangsa Barat. Pertanyaan ini kemudian berkembang menjadi motivasi untuk mengabdikan hidupnya bagi bangsa, khususnya kaum perempuan.
Perjalanan pendidikan Maria Soelastri dimulai pada 1906 di Europeesche Meisjesschool Yogyakarta yang dikelola Suster Fransiskanes Kidul Loji atas rekomendasi Pastor van Lith dan restu ibundanya; di sana ia memperoleh ilmu modern sekaligus pendalaman ajaran Kristiani dan nilai kemanusiaan yang membentuknya sebagai pribadi terbuka yang mampu menjembatani tradisi Jawa dengan nilai modern. Pada 1914, di usia 16 tahun, ia menikah dengan Raden Mas Jacobus Soejadi Darmasapoetra, dokter hewan sekaligus pegawai negeri yang berkomitmen melawan kapitalisme kolonial, dan sebagai istri Maria tampil setia serta cerdas memberi dukungan moral bagi perjuangan politik suaminya. Ketika pada 1923 sang suami terpilih menjadi anggota Volksraad mewakili umat Katolik pribumi, kehidupan Maria pun meluas dari ranah domestik ke keterlibatannya dalam isu-isu sosial, khususnya terkait nasib perempuan pekerja. Maria Soelastri dikenal sebagai perempuan Katolik pribumi yang berani melawan ketidakadilan kolonial. Melalui suratnya “Zonder tropen geen Nederland” (“Tanpa daerah tropis, tidak ada Negeri Belanda”), ia menyodorkan data tentang kekayaan Hindia Belanda yang menopang kesejahteraan Belanda, sehingga menggugah kesadaran wanita Katolik Belanda. Mendampingi suaminya, Dr. Jacobus Soejadi Darmosapoetro, di Volksraad, ia memberi masukan isu-isu penting, termasuk menentang Kweekschool Plan yang melemahkan sekolah Katolik pribumi dan Vlootwet yang membebani rakyat. Alih-alih pemogokan, ia memilih dialog dengan pengusaha Belanda, berlandaskan ajaran sosial Gereja Katolik (Rerum Novarum dan Quadragesimo Anno), memperjuangkan keadilan buruh, bahkan berhasil mendorong penerapan sistem tatiem (pembagian keuntungan) di pabrik gula Yogyakarta. Kepeduliannya terhadap buruh perempuan yang tertindas di pabrik cerutu Negresco dan pabrik gula makin menegaskan sikapnya; menyadari perlunya wadah perjuangan, pada 26 Juni 1924 bersama alumni Sekolah Guru Putri Mendut dan dengan dukungan Pastor Henri van Driessche SJ, ia mendirikan organisasi Poesara Wanita Katholiek cikal bakal Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI) yang memperjuangkan hak-hak dasar dan perlindungan buruh perempuan.
Maria Soelastri menghayati iman Kristiani dengan membela kaum perempuan tertindas pada masa kolonial. Kasih (Mat. 22:39) dan keadilan (Ams. 31:8-9) mendorongnya menjadi suara buruh perempuan untuk memperoleh upah layak dan kondisi kerja manusiawi. Kerendahan hati (Flp. 2:3-4) membuatnya tak berjarak dengan rakyat kecil, sementara imannya yang berbuah tindakan (Yak. 2:17) melahirkan organisasi perempuan Katolik. Iman, kasih, dan keadilan ia wujudkan dalam pelayanan nyata yang menjembatani Kitab Suci dengan realitas sosial.
Nilai-nilai hidup yang diperjuangkan Maria Soelastri sejalan dengan spiritualitas dan keutamaan yang diajarkan Santo Vinsensius a Paulo. Lima keutamaan Vinsensian tampak nyata dalam perjalanan hidupnya. Pertama, kesederhanaan. Maria Soelastri tetap hidup apa adanya meskipun berasal dari keluarga bangsawan. Ia tidak memiliki kepentingan ganda dalam perjuangannya, melainkan tulus memperjuangkan kebenaran dan keadilan hanya demi melaksanakan kehendak Allah. Kedua, kerendahan hati. Sebagai keturunan bangsawan, ia tidak pernah menyombongkan diri, melainkan mengakui dirinya sebagai alat Allah untuk mengangkat harkat martabat sesama. Ketiga, kelembutan hati. Dalam berinteraksi, Maria Soelastri selalu menggunakan bahasa sederhana yang dapat dipahami oleh buruh perempuan. Kehadirannya yang penuh keramahan membuat relasinya dengan semua orang, tanpa memandang status sosial, berjalan dengan penuh persaudaraan. Keempat, matiraga. Ia rela berkorban meninggalkan kenyamanan dan kemewahan hidup bangsawan demi membela kaum kecil. Pengorbanan ini menegaskan bahwa kepentingan bersama selalu lebih utama dibandingkan kesenangan pribadi. Kelima, semangat menyelamatkan jiwa. Dengan semangat yang menyala, Maria Soelastri berusaha menyelamatkan martabat manusia, khususnya perempuan, agar mereka dapat hidup lebih layak dan bermartabat. Usahanya mencerminkan kasih Allah yang bekerja melalui dirinya untuk mendamaikan manusia dengan Allah.
Nilai-nilai Maria Soelastri tetap relevan hingga kini, meliputi perjuangan kesetaraan gender, pendidikan, ekonomi, dan pelayanan. Semangatnya membela upah layak masih aktual menghadapi gender pay gap dan menginspirasi program pelatihan, literasi keuangan, serta akses modal bagi perempuan. Pandangannya bahwa pendidikan perempuan adalah kunci kesejahteraan selaras dengan agenda global kesetaraan pendidikan. Di ranah politik, teladannya mendorong kader WKRI untuk aktif dalam pemerintahan, sementara di era digital nilai-nilainya menopang perempuan agar mampu beradaptasi dengan teknologi tanpa kehilangan jati diri. Dalam kehidupan sehari-hari, warisan ini dapat dihidupi lewat kesederhanaan, kerendahan hati, kepedulian sosial, kesetaraan dalam keluarga, advokasi di masyarakat, pemberdayaan dalam organisasi, keadilan di dunia kerja, serta pelayanan gereja. Melalui WKRI, nilai-nilai tersebut terus menginspirasi generasi demi generasi lebih dari satu abad, menjadikannya warisan hidup yang menyentuh ekonomi, pendidikan, politik, teknologi, dan spiritualitas.